Batik Rifa'iyah

Batik Rifa’iyah Menyatakan Identitas
Oleh: Soekma Y. Astuti, Mahasiswi Pengkajian Seni Program Pascasarjana ISI Surakarta.

Batik Rifai'yah sarat dengan religiusitas Islam sekaligus menyandang fungsi sosial terkait identitas komunitas.
Tak banyak yang tahu, masyarakat Islam Rifa’iyah memiliki batik yang begitu khas. Para pemburu batik menamainya sebagai batik Rifa’iyah. Sepintas batik ini kurang menarik, karena gambar-gambar yang ditorehkan kaku. Padahal, justru kekakuan ini menjadi daya tarik tersendiri. Di sini terkandung makna dan pesan bagi para pemakainya, yaitu mengingatkan manusia untuk selalu menjalankan perintah, dan menjauhi larangan Allah SWT .
Kemunculan dan perkembangan batik Rifa’iyah dipengaruhi oleh budaya pesisir. Basik teknisnya berasal dari Solo dan Jogja, namun bentuk serta warna Pekalongan begitu kental. Awalnya, batik ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan sandang, namun dalam perkembangannya malah bisa membantu peningkatan perekonomian rumah tanggaa. Maezah (41), pembatik aktif generasi ke 4 masyarakat Islam Rifa’iyah yang tinggal di kampung Kalipucang Wetan, mengaku tidak tahu secara jelas kapan dan siapa pencipta motif-motif yang kini menjadi identitas masyarakat Rifa’iyah.
Komunitas Rifa’iyah muncul di Kalisalak, Kabupaten Batang, Jawa Tengah pada tahun 1850. Perintisnya Kiai Haji Ahmad Rifa’i, anak seorang penghulu Landerat Hindia Belanda di Kendal. Dan nama kiai ini dinisbatkan menjadi nama komunitas atau masyarakat Islam Rifa’iyah. Gerakan ini bermarkas di pondok pesantren Kalisalak dan dari tempat inilah ajaran Rifa’iyah di Sebarkan. Melalui muridnya bernama Kiai Ilham, Islam Rifa’iyah tersebar di wilayah Kalipucang, Batang. Di wilayah inilah batik Rifa’iyah di buat dan disebarkan ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi.

Kiai Haji Ahmad Rifa’i
Masyarakat Islam Rifa’iyah merupakan sebuah komunitas Islam yang sebenarnya muncul dari pedalaman di wilayah pesisir utara pulau Jawa. Sinkretisme Islam dan tradisi Jawa demikian kuat, sehingga ajaran Islam tidak murni lagi mendasari kelompok ini.
Shadan dikisahkan bahwa pengamalan agama Islam pada sebagian orang Jawa dirasa telah menyimpang dari akidah Islamiyah dan latar sosial politik kekuasaan pemerintah Belanda terhadap wilayah Pantai Utara Pulau Jawa, menarik perhatian Kiai Haji Ahmad Rifa’i. Perasaan tidak senang terhadap pemerintah yang dianggap membebani rakyat yang dianggap membantu Belanda, dikatakannya sebagai kafir.
Kegiatan belajar di pesantren Kalisalak-Batang lambat laun menjadi suatu bentuk kelompok keagamaan yang mengamalkan ajaran-ajaran sang kyai yang ditulis dalam kitab-kitab Tarajumah. Kitab Tarajumah merupakan suatu tuntunan Islam yang cara pembacaannya dalam bahasa Jawa dan Melayu. Istilah "tarajumah" selalu dicantumkan untuk menjelaskan kitab tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa atau tidak seperti sumbernya yang berbahasa Arab. Sedangkan penulisannya menggunakan huruf Arab latin.
Dari realitas kehidupan umat Islam yang dibelenggu oleh kolonial Kiai Rifai’ah yang berpendidikan agama Islam dari Arab ini kemudian melahirkan gerakan Rifa’iyah.

Keberadaan Batik Rifa’iyahMembatik oleh komunitas ini merupakan pekerjaan yang dilakoni sejak kecil. Dahulu, membatik di lakukan oleh para wanita ketika mulai beranjak dewasa atau menunggu dilamar. Untuk mempersiapkan hari pernikahan, para wanita dipastikan akan membuat batikan paling bagus dari sekian batikan yang telah dihasilkan. Hasil batikan tersebut akan dikenakan berbarengan dengan mempelai laki-laki.
Biasanya Batik Rifa’iyah di buat dalam bentuk kain panjang, sarung, dan selendang. Kain panjang dan sarung dimaksudkan sebagai pakaian yang berfungsi fisis (penutup aurat). Batik Rifa’iyah menjadi sebuah lambang status sosial dan di pakai masyarakat Rifa’iyah berdasarkan pertimbangan nilai moral dan kesopanan. Sehingga batik menjadi pengenal masyarakat Rifa’iyah, selain itu lewat jarik atau sarung dapat mempererat tali persaudaraan, sekalipun berbeda daerah dan tidak saling kenal.
Dari sisi perupaan, Batik Rifa’iyah memiliki nilai estetis tinggi, walaupun dalam penggambarannya tidak semua obyek dapat menjadi ragam motif. Menurut ajaran Islam, ragam hias yang boleh dipakai dalam komunitas ini diyakini tidak menimbulkan syirik bagi pembuat maupun pemakainya. Hampir seluruh motif tidak menggambarkan bentuk makhluk yang hidup (manusia, binatang), kalaupun ada (binatang) dapat dipastikan bentuknya tidak sempurna atau hanya menyerupai saja.
Batik Rifa’iyah diyakini oleh komunitas ini sebagai pakaian yang sah untuk beribadah, sholat maupun mengaji. Model pakaian masyarakat Islam Rifa’iyah berkerudung, berbaju longgar, berlengan panjang, dan ber-jarik/sarung. Sarung atau jarik bermotif batik Rifa’iyah, selalu dijadikan pelengkap seserahan perkawinan, selain digunakan juga pada penggantin saat acara midodareni.
Batik yang digunakan bisanya bermotif materos satrio atau nyah pratin. Alasan pemilihan motif tersebut


karena terlihat lebih luwes dan halus, sehingga pemakainya tampak lebih elegan. Ada pula motif batik Rifa’iyah yang berfungsi sebagai penolak bala, yaitu batik Kluwungan. Batik ini dibuat khusus untuk anak yang diapit dua saudara (kakak dan adik) yang telah meninggal dunia. Dengan memiliki batik kluwungan ini diharapkan anak tersebut tidak terkena sawan gila.
Sepintas motif batik Rifa’iyah tidak ada bedanya dengan batik pesisir terutama batik Pekalongan. Beberapa motif, pola dan warna juga diketahui mirip dengan batik Pekalongan yang banyak terpengaruh oleh kebudayaan asing seperti Cina, Belanda, dan Arab. Pembatik sangat jarang menggambarkan bentuk-bentuk mahluk hidup. Pelukisan mahluk hidup mengalami pen-distorsi-an, misalnya burung kakinya berubah menjadi cabang atau ranting pohon. Ada juga penggambaran bentuk cacing atau ular yang kedua matanya digambarkan terlihat keluar, seperti gambar wayang beber. Ada juga penggambaran mahluk hidup yang dilebih-lebihkan, digayakan atau di stilasi sehingga bentuk binatang terlihat menyerupai bentuk tumbuhan, misalnya gambar ayam yang kepalanya diganti bentuk bunga, atau ekor burung di buat panjang menjuntai mirip daun-daunan yang panjang. Intinya bentuk yang distilasi atau pendistorsian ini menggambarkan hewan yang telah disembelih atau telah mati.
Saat ini batik Rifa’iyah di Kalipucang masih dibuat dan dipakai oleh komunitasnya. Terdapat tidak kurang dari empat belas motif batik di sana, yaitu; banji, gemblong sakiris, gendhakan, jeruk noi, kawung dolar, kawung jenggot, kluwungan, kotak kitir, lancur, materos satrio, nyah pratin, pela ati, rama gendhong, dan tambal. Nama-nama batik sangat berbeda dengan di Pekalongan yang banyak mencitrakan pembuatnya. Atau tidak seperti batik vorstenlanden yang sarat makna dan filosofi. Batik Masyarakat Islam Rifa’iyah ini lebih suka menamai dengan cara sederhana dari bentuk visualnya.














Comments